Sabtu, 07 Maret 2009

Omong Kosong SPP Gratis




MESKI pemerintah sudah menetapkan SPP gratis, namun tetap saja masyarakat mengeluh, biaya sekolah mahal. Sebagian sekolah tetap memungut biaya uang masuk untuk siswa baru. Apakah ini berarti pihak sekolah yang membandel atau programnya tidak tepat sasaran. Berikut liputan seorang teman yang bekerja di sebuah mass media di Jakarta tentang hal tersebut.

"Dunia pendidikan kita bagai benang kusut. Sebagian besar orang tua siswa, baik baru atau yang akan naik ke kelas berikutnya, pasti pusing memikirkan biaya sekolah yang tinggi. Apalagi, ada siswa baru yang dikeluarkan dan sekolah gara-gara belum melunasi uang pendaftaran (saya baca di rubrik Megapolitan beberapa bulan yang lalu).

Pada 2001, pemerintah telah mengeluarkan peraturan melalui keputusan menteni 053/11/2001, yang mengatur tentang standar pelayanan minimal penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah. Peraturan tersebut mewajibkan sekolah memiliki buku pelajaran pokok dan ditunjang oleh buku pelajaran pelengkap, buku bacaan serta buku referensi seperti kamus, pada tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolali Menengah Pertama (SMP).Artinya setiap siswa minimal diharapkan memiliki, satu buku paket untuk pelajaranya disamping berbagai buku penunjang lainya. Namun sampai sejauh mi, pemerintah tidak mampu menjalankan kewajibanya dengan baik dan konsisten.

Pemerintah dituding tidak konsisten terhadap peraturan yang dibuat sendiri. Itu dikemukakan Iwan Setiawan Wakil Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Propinsi DKI Jakarta, ketika kami hubungi beberapa saat yang lalu.Terkesan aturan itu dibuat hanya untuk ditelantarkan,tandas Iwan.

Tudingan mi sepertinya berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan, ketika kami menelusuri salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta yang menjual buku-buku pelajaran di daerah Matraman Jakarta Pusat, memang harganya masib cukup mahal.

Sementara itu, Ade Irawan, koordinator Divisi Monitoring dan Peyanan Publik, Indonesia Corruption Watch (ICW), menuturkan mahalnya biaya pendidikan bisa disebabkan oleh dua faktor. Yakni, kurangnya subsidi dani APBD dan APBN dan juga ditambah lagi dengan korupsi yang dilakukan birokrasi, sehingga memperparab kondisi dunia pendidikan.Tidak boleh ada pungutan liar di sekolah, tandasnya.

Senin, 02 Maret 2009

Secarik Catatan Harian

Pagi di depan tugu.Ikan,burung,dan teratai bercengkerama tatkala bising mulai menyingsing.Terpekur aku disini menarikan pena biru bermerk STANDARD AE-7 FINE.Ya,pena ini sesuai benar dengan merknya,standar,digunakan siapa saja dan dimana saja.Bolpin yang telalu pasaran seperti 'saudara'nya yang bermerk PILOT.Hm,urusan pena atau bolpoin tak terlalu penting untuk ditelisik lebih lanjut.

Aku duduk di bangku menanti.Apa dan siapa yang kunanti?Entahlah,yang pasti penantian itu selalu ada tatkala aku menghempaskan pantat pada bangku semen,duduk tepat menghadap balaikota Malang yang terhalang sebuah bangunan tinggi hitam nan angkuh bernama tugu,yang dikelilingi oleh sebuah kolam bundar.Sebuah monumen yang konon untuk memperingati perjuangan rakyat kota Malang dan sekitarnya saat Clash II tahun empatlapan-kalau tidak salah-di mana terjadi bumi hangus yang terjadi di segenap penjuru kota.Ya,ketika itu ratusan atau mungkin ribuan bangunan termasuk toko-toko di jalan-jalan protokol kota ini musnah oleh api yang dengan sengaja disulut,mirip benar dengan peristiwa kebakaran Pasar Turi,Surabaya,yang beberapa tahun lalu sengaja dibakar orang.Menurut buku bersampul merah(Tionghoa Dalam Pusaran Politik Indonesia)yang pernah kubaca di Gramedia,bumi hangus di kota Malang yang saat itu ditujukan kepada bangunan-bangunan vital,ternyata juga merembet ke pertokoan-pertokoan milik etnis Tionghoa,sehingga banyak diantara pemilik dan keluarganya terpanggang hidup-hidup setelah harta bendanya dijarah.Yang terakhir ini dilakukan oleh 'oknum-oknum' laskar pejuang yang tidak bertanggungjawab serta para pengacau liar yang membabi buta memanfaatkan situasi genting dimana pasukan Belanda mulai memasuki kota Lawang dan merambat ke Singosari di utara kota Malang yang saat itu konon masih cukup dingin.Hm,chaos..sebuah kondisi yang kerapkali melahirkan huru-hara,tidak dulu tidak juga sekarang.

Aku jadi teringat pula tatkala ketidakpastian bergelayut di negeri ini.Saat itu-1998-adalah dimana krisis multi dimensi mencapai puncaknya,situasi keamanan berada pada kegentingan yang sukar dilukiskan,api menyulut rumput kering.Dan membaralah ibukota serta beberapa kota lainnya.Chaos!Kalau kita pikir,baik tahun empatlapan maupun sembilanlapan tak jauh beda situasinya.Terjadi penjarahan dan pembakaran oleh orang-orang tak bertanggungjawab yang memanfaatkan situasi genting.Lantas,mengapa bumi hangus di Malang,Bandung,Medan,dan kota-kota lainnya di tahun empatpuluhlima ke atas,pada masa sekarang kita kenang sebagai kisah nan heroik penuh kepahlawanan,sedangkan peristiwa 'bumi hangus' di Jakarta,Solo,dan kota-kota lainnya di tahun sembilanlapan kita kutuk sebagai tragedi sekaligus sebagai 'aib' bangsa ini?Bukankah kedua-duanya banyak menelan korban orang-orang yang tak bersalah?Ironis!Sejarah memang tumpang tindih,lantas semaunya sendiri dipelintir oleh mereka yang berkuasa,lalu kita dipaksa untuk menelannya mentah-mentah.Puhh!

Aku masih berada di tempat yang sama.Lantas pikiranku melayang kepada hal lain.Pameran.Beberapa saat yang lalu,C 66 melontarkan ide untuk mengadakan pameran bersama di Mamipo(Malang Meeting Point),Jl.Kediri,dekat kampus UM(Universitas Negeri Malang).Cerpen.Ya,belakangan ini aku sedang bingung memilah cerpen yang hendak turut dipamerkan disana.Dipertontonkan ke khalayak ramai di sebuah ruangan.Sesungguhnya rasa tidak percaya atau sedikit rasa minder menggelayut di benakku tatkala ide pameran itu pertama kali diperdengarkan di kedua kupingku.Maka,tatkala C66 kembali menanyakan cerpenku beberapa hari yang lampau,aku spontan berpikir,layakkah cerpenku dipamerkan?Padahal,membuat cerpen bukan hal yang baru lagi bagiku,paling tidak setahun belakangan ini.Menulis,mengedit,lalu mengirimkannya ke berbagai media baik suratkabar,majalah perbukuan,majalah anak-anak,dan sebagainya sering aku lakukan.Beberapa kali dimuat,kalau ditolak sudah tak terhitung,hehehe..Tapi kalau menulis cerpen untuk diikutsertakan ke dalam sebuah acara pameran,belum pernah sama sekali!Apalagi rencananya nanti akan dimonologkan.Puhh!Betul-betul sesuatu yang baru bagiku,sebuah hal yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.Aku bertanya kepada diriku,"Beranikah dirimu?".Demikianlah berkali-kali aku katakan pada seseorang tatkala aku menemuinya di dalam cermin di hadapanku.

Aku bukan mahasiswa satra,tak tahu apa-apa mengenai teori sastra.Aku hanya senang menulis tanpa pernah peduli apakah karya yang aku hasilkan selama ini layak disebut sebagai sebuah karya satra.Aku tak begitu pandai berandai-andai,tak begitu pintar mengindah-indahkan kalimat,tak pernah peduli apa itu pakem dan semacamnya.Hanya sesekali membuka-buka buku panduan menulis kalau aku sedang berada di Togamas atau Gramedia.Oh ya,Gramedia.Tahukah kawan,pada suatu siang seorang pramuniaga di sana mendatangiku saat aku sedang membuka-buka buku di rak Sosial Politik.Lantas,ia menanyakan nama dan alamatku sesuai KTP.Aku bertanya,"Buat apa mbak?".Si pramuniaga menjawab bahwa biodataku akan dimasukan ke daftar pelanggan.Glek!Padahal,aku sangat jarang membeli buku di sana.Paling-paling baru sepuluhan buku yang aku beli sampai hari ini.Tapi kalau sekedar berkunjung dan membuka-buka-tentu saja juga membacanya-sudah tak terhitung lagi.Sampai-sampai beberapa satpam,pramuniaga,serta petugas penitipan tas hafal padaku.Bahkan,beberapa di antaranya kemudian menjadi temanku,dalam arti,kami kemudian sering bertemu dan berbincang entah di warung,tempat kos,halte,dan di tempat lain.Oh ya,kawan,beberapa bulan setelah si mba tadi mencatat biodataku,sebuah kartu lebaran melayang ke alamatku di sebuah kampung sunyi di Jawa Tengah sana,kurang lebih seminggu sebelum Idul Fitri tiba.Ah,Gramedia..engkau membuatku tak enak hati,hehehe..thanks.

Kembali ke laptop.Laptop pinjaman,kepunyaan Yanu,si anak Jombang yang kuliah di jurusan akuntansi UB(Universitas Brawijaya).Kembali lagi ke soal pameran.Ketika ketidakpedean kembali menghinggap pagi ini,waktu sudah menginjak pukul setengah delapan barangkali.Mentari mulai naik.Ah,terik mulai terasa.Ini hari Senin,dan upacara bendera baru di SMA 4 di belakangku baru saja dimulai sekitar seperempat jam yang lalu.Hm,berarti aku harus beranjak dulu,kawan.Nanti atau besok akan kulanjutkan lagi tulisan ini.Aku ada acara di depan kantor redaksi Malang Post,Jl.Sriwijaya no.1.Acara apa gerangan?Ada deh,hehehe...
*****
Aku baru saja usai melontarkan diri ke dunia senyap yang sudah lama tak kusapa.Kembaraku meniti tikungan dan tanjakan,setelah aroma rem kereta berlalu.Tak sampai puncak,kembali aku meniti 'jalur setan' yang dulu aku titi dari arah yang berlawanan.Bak ujung magnet negatif positif,sekarang kubalik menjadi positif negatif...

Barangkali aku bisa menjadikan paragraf di atas menjadi sebuah cerpen yang utuh di lain hari.Mengapa tak sekarang saja?Ah,aku lelah,kawan.Tahukah engkau?Sekarang hari sudah mulai gelap,aku berada sekitar seratus meter ke arah timur dari tempatku duduk tadi pagi.Adzan Maghrib baru saja mengalunkan baitnya yang terakhir.Sudah sepuluh menit aku duduk di sini,trotoar depan Bank Panin,tak hirau klakson angkot ADL,MM,dan entah apalagi yang mengharapkan sekedar duaribu tigaratus rupiah dari kantong celanaku.Barangkali ada juga angkot ABC,XYZ,PQR,aku tak hirau semuanya itu.Disini,aku sedang kembali berusaha melepas senyapku,membuang keterasingan yang aku peluk sejak pagi tadi.Puhh!Sudah sedikit lega rasanya.

Akhir-akhir ini aku sedang berusaha menata kembali catatan-catatan yang tercecer,beusaha menyelesaikan cerpen-cerpen yang tak usai kubuat,entah aku menuliskannya sebulan,tiga bulan,atau setahun yang lampau.Mencoba membuat mereka menjadi utuh,tak sekedar mandhek di kepala,leher,atau lutut,tetapi juga selesai sampai ujung tumit serta jari-jemati tangan dan kaki mereka.Tapi,arghh..entah mengapa belakangan ini aku merasa begitu enggan meski sudah berulang kali memaksa diriku sendiri.Kemana gairah ber-cerpen ria yang membara beberapa bulan yang lalu itu?Mengapa hasrat itu seolah menggantung jauh di atas langit sana?Tanganku tlah lelah menggapai,tubuhku tlah letih meloncat,tak jua aku meraihnya.Sial.
Ketika aku menggurat pena di secarik kertas ini,aku berusaha untuk menanamkan komitmen pada diri ini,bahwa paling tidak sebuah cerpen harus selesai sebelum hari H itu tiba.Aku akan melawan ketidakpede-an itu,membuang jauh rasa minder itu,mendepak ragu-ragu dalam melakukan sesuatau yang merupakan sebuah hal yang baru.Semoga.
*****
Sekarang tanggal tiga Maret.Kembali aku duduk di bangku taman alu-alun bundar depan tugu balaikota.Ribuan teratai menyapa dari kolam,kecipak air dengan beberapa ekor mujair yang berkejaran di sela dedaunannya pun menyambutku riang.Belum ada jam enam pagi.

Seoang gelandangan yang sering aku lihat di sini,tampak masih tertidur pulas di seberang pagar kolam sana.Ah,betapa dia tanpa beban.Bebas.Lepas.Tak pernah berpikir akan omelan majikan,tak pernah pusing akan intrik di tempat kerja,tak pernah risau urusan beras di rumah.Oh..dia menggeliat,kemudian duduk,bengong sejenak.Apa yang sedang dia pikirkan?Hm,kembali ia rebah di bangku semen yang bentuk dan ukurannya sama dengan tempatku duduk.Ops!Dalam sekejap,aku meralat pandanganku tentangnya.Tak benar bahwa gelandangan itu bebas lepas tanpa masalah.Jelas-jelas ia manusia,jelas-jelas pula ia memiliki problem,hanya mungkin berbeda dengan problem orang kebanyakan.Sorot mata cekung lelaki muda itu tak bisa berbohong.Ada kedukaan dan keletihan di sana.Juga ada keruwetan hidup jelas membayang.Hm,barangkali kalau aku terus mengamati dan menulis tentang seseorang yang tidak benar-benar tidur ini,akan jadilah sebuah cerpen tentang seorang lelaki muda yang sebaya denganku,berbaju biru lengan panjang,bercelana jeans coklat,bersandal jepit.Ya,barangkali akan lahir sebuah cerita sepanjang duaribu atau tigaribu karakter keyboard komputer.

Akan tetapi,aku benar-benar sedang tidak berniat membuat cerpen pagi ini.Meski satu jam yang lalu aku membuka Friendster,ada si C 66 yang kembali menanyakan cerpenku.Katanya si Habib sudah siap untuk berlatih memonologkannya.Hah?Secepat itukah?Sejenak gugup menghampiriku.Kubalas si C 66,"Oke,aku ketik nanti malam,besok aku ke kedai Sinau".Ops!Ketika aku berlalu dari pintu warnet dekat rumah sakit,aku langsung berubah pikiran.Mengapa tak kuketik pagi ini saja?Pertanyaannya,cerpen yang mana? Yang pernah aku kirim ke majalah Bobo?Yang pernah kukirimkan ke Mata Baca,Jawapos,atau Kompas?Tidak.Aku ingin cerpen yang baru,gress!Cerpen yang belum pernah aku layangkan ke manapun.Cerpen yang belum pernah aku publikasikan pada siapapaun.Tapi mengapa ketika pameran itu kian dekat,aku tak jua menyelesaikan satu cerpen pun.Apakah aku harus ingkar pada komitmen awalku?Tolonglah aku,kawan.
Malang,2 dan 3 Maret 09