Selasa, 23 Desember 2008

Ada Apa Dengan Punk

Kosa kata Punk telah digunakan sejak Shakespeare menulis The Merry Wives of Windsor. Dalam kamus bahasa Indonesia, Punk diartikan sebagai anak muda yang masih “hijau”, tidak berpengalaman, atau tidak berarti. Bahkan diartikan juga sebagai orang yang ceroboh, sembrono, dan ugal-ugalan. Istilah tersebut sebetulnya kurang menggambarkan makna punk secara keseluruhan.
Dalam “Philosophy of Punk”, Craig O’Hara (1999) menyebut tiga definisi punk. Pertama, punk sebagai trend remaja dalam fashion dan musik. Kedua, punk sebagai Sang Pemula yang punya keberanian memberontak, memperjuangkan kebebasan dan melakukan perubahan. Terakhir, punk sebagai bentuk perlawanan yang “hebat” karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas, dan kebudayaan sendiri. Definisi pertama adalah definisi yang paling umum digambarkan oleh media. Tapi justru yang paling tidak akurat karena cuma menggambarkan kesannya saja.
Punk memang sohor dari musik. Namun energi eksplosif dan kecepatan gerak punk lebih dari sekadar fenomena musik belaka. Ketika gelaran musik punk banyak diberangus, punk mengeksplorasi seni visual. Musik hanyalah satu aspek dari gerakan punk. Punk sangat terkait erat dengan musik, mode dan grafis, namun punk juga dapat dipandang sebagai bagian episode budaya yang lebih luas, dan menemukan ekspresinya dalam film, penampilan dan seni visual.
Bagaikan asam di gunung, garam di laut, bertemu di belanga, Punk yang terbit pertamakalinya di London, Inggris berakulturasi dengan nilai-nilai lokal di Indonesia. Pada era 1980-an, punk digandrungi golongan menengah-atas dari kota-kota besar di Indonesia, sebagai bentuk snobisme anak muda perkotaan. Sebagian besar mereka mengetahui tentang subkultur punk dari kaset-kaset yang beredar di kalangan terbatas, disamping dari terbitan majalah-majalah musik luar negeri yang dibawa remaja yang berlatar belakang keluarga makmur (karena boom minyak) yang berkesempatan bersekolah di Eropa atau Amerika.
Dekade pertengahan 1990 boleh dibilang merupakan fenomena mewabahnya musik underground di Indonesia. Pada 1997 adalah masa awal ketika punk Indonesia mulai terjun di kancah politik, dijuluki “punk politik” karena membawa isu-isu politik, kekuasaan, militer, dan globalisasi dalam konser underground. Punk ini mengusung musikalitas yang tak ribet, dengan lirik-lirik lugas di tengah unggah-ungguh eufimisme bahasa Indonesia yang mengalami birokratisasi. Lirik lagu mereka memakai bahasa yang langsung, kenyal, plastis, tidak merayakan metafora yang kelam seperti era psikodelik rock. Awal tahun 2000, subkultur punk menjadi sebuah gerakan yang merasuk sampai desa, kampung atau dusun di pojok pelosok Indonesia. Beberapa scene punk di kota-kota kabupaten di Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan sekarang secara berkala membuat gigs, yang digeber band-band punk lokal. Sebagaian besar anak muda itu hidup sebagai petani atau pedagang dengan latar budaya agraris yang kuat.
Etos Do It Yourself (DIY) terutama mencuat pada 1990-an, ketika terjadi percampuran antara aksi protes (sebagai aksi politik langsung) dengan kegiatan pesta (aksi perayaan, festival). Budaya ini menyerukan gerakan counter culture atau underground di Amerika pada 1960-an, di mana politik dan pesta berbaur dan dipraktikkan menjadi ekonomi koperasi, pemenfaatan teknologi digital dan teknologi komunikasi untuk tujuan-tujuan masyarakat bebas, dan komitmen terhadap teknologi alternative. Mengembangkan sikap berdikari (berdiri di kaki sendiri), sikap independen, termasuk dalam hal memproduksi kebutuhan-kebutuhan estetis sekaligus kontekstual mengangkat aspirasi masyarakat luas : musik, wood cut, fotografi, zine, fashion, rajah tubuh, aksesoris, buku dan komik.

*)tulisan ini mendampingi Pameran "Ada Apa Dengan Punk" pada gig Spreading Punk Rock Frienship Reality di Gedung HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, 23 Juni 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar